Carlos
Fillipe Ximenes Belo
(Usaha Menuju
Penyelesaian Yang Adil Dan Damai Atas Konflik Di Timor-Timur)
Sesuai dengan tugas yang diberikan
oleh Romo pembimbing pelajaran Agama di SMA Kolese Gonzaga maka saya memilih
seorang tokoh yang (mungkin) sangat berperan besar dalam penyelesaian konflik
di Timor-Timur. Saya pribadi memilih Mgr. Belo dikarenakan kekaguman diri
terhadap peranannya bagi penyelesaian konflik yang berkepanjangan di daerah
Timor-Timur yang dulu merupakan bagian dari wilayah Indonesia sendiri.
Mgr. Belo cukup membanggakan nama
bangsa Indonesia, dikarenakan jasanya yang membuahkan sebuah nobel perdamaian
yang diberikan oleh PBB. Walau pada akhirnya dia sendiri bukan lagi bagian dari
bangsa Indonesia, namun hal tersebut merupakan sedikit goresan sejarah yang
mengukir dunia kesuksesan Indonesia.
Sedikit Cerita Tentang Mgr. Belo
Carlos Fillipe Ximenes Belo lahir
pada tanggal 3 Februari 1948. Carlos Filipe Ximenes Belo dilahirkan di
desa Wailakama, dekat Vemasse, di pesisir utara Timor Timur. Ayahnya, seorang guru sekolah. Masa kecilnya dihabiskan di sekolah
Katolik diBaucau dan Ossu, lalu ia pindah ke seminari kecil Dare, di
luar kota Dili dan lulus pada 1968. Mgr Belo memilih untuk menjadi seorang imam. Dari 1969 sampai 1981, selain dari masa latihan kerja (1974-1976) di Timor Timur dan di Makau, dia di utus ke Portugal dan Roma setelah menjadi anggota dari Salesian
Don Bosco. Di sana dia belajar filsafat dan teologi sebelum diresmikan menjadi pastur pada 1980.
Kembali ke Timor Timur
pada Juli 1981 dia menjadi guru selama 20 bulan, dan kemudian, selama
dua bulan, menjadi Direktur di Kolese Salesian di Fatumaca. Ketika Martinho da Costa Lopes mengundurkan diri pada 1983, Carlos Filipe Ximenes Belo ditunjuk sebagai Administratur Apostolik Diosis Dili. Ia menjadi pemimpin Gereja Timor Timur dan bertanggung jawab secara langsung
kepada Paus. Pada 1988 dia ditahbiskan sebagai Uskup di Lorium, Italia.
Pastor Belo adalah dipilih untuk
menjadi Duta Besar Vatikan di Jakarta dan pemimpin Indonesia karena Ia kelihatan penurut. Namun dalam waktu lima bulan sejak dia menjabat
posisinya dia memprotes keras, terutama terhadap kebrutalan pembantaian Kraras (1983) dan mengutuk penahanan banyak orang oleh
pemerintah Indonesia. Gereja merupakan satu-satunya institusi yang mampu
berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan pemahaman ini Mgr. Belo mulai menulis banyak surat dan membangun hubungan dengan luar negeri,
meskipun pihak Indonesia berusaha untuk semakin mengisolasinya sementara dunia
pada umumnya dan Gereja Katolik tidak kelihatan berminat.
Pada Februari 1989 dia menulis kepada Presiden Portugal, Paus, dan
Sekretaris Jenderal PBB, menyerukan referendum PBB mengenai masa depan Timor Timur dan meminta
pertolongan dunia internasional untuk Timor Timur, yang "sekarat sebagai
manusia dan negara". Namun ketika surat ke PBB itu menyebar ke luar pada April, dia semakin menjadi target pemerintah Indonesia. Keadaan yang mengancam
ini makin meningkat ketika Uskup Belo memberikan perlindungan di rumahnya bagi orang muda yang melarikan diri dari pembantaian Santa Cruz (1991), dan berusaha untuk mengungkapkan jumlah korban yang terbunuh.
Usaha Uskup Belo yang
berani ini demi orang Timor Timur. Akhirnya usaha Uskup Belo dalam memperjuangkan perdamaian dan rekonsiliasi diakui dunia internasional. Pada Desember 1996 bersama José
Ramos Horta, dia diberikan Penghargaan Nobel Perdamaian. Uskup Belo memanfaatkan penghormatan ini
dengan bertemu Bill Clinton dari Amerika Serikat dan Nelson Mandela dari Afrika Selatan.
Setelah kemerdekaan
Timor Timur pada 20 Mei 2002, tekanan dari berbagai peristiwa dan kecemasan yang berlanjut yang
ditanggungnya mulai memukul kesehatan Uskup Belo. Paus Yohanes Paulus II menerima pengunduran dirinya sebagai Vikar Apostolik Dili pada 26 November 2002.
Setelah pengunduran
dirinya sebagai Vikar Apostolik, Uskup Belo pergi ke Portugal untuk menjalani
perawatan kesehatan. Pada awal 2004, ia menerima panggilan berulang-ulang untuk kembali ke Timor Timur dan
mencalonkan diri menjadi presiden. Namun pada Mei 2004, ia mengatakan kepada
televisi pemerintah Portugal, RTP, bahwa ia tidak akan membiarkan namanya
dicalonkan. "Saya telah memutuskan untuk menyerahkan politik kepada para
politikus," katanya. Sebulan kemudian, pada 7 Juni, 2004, Pascuál Chavez, pemimpin Serikat Salesian, mengumumkan dari Roma
bahwa Uskup Belo, yang kini telah sehat kembali, akan mendapat penugasan baru.
Dalam persetujuan dengan Takhta Suci, ia akan pergi ke Mozambik sebagai misionaris, dan akan tinggal di negara itu
sebagai anggota dari Serikat Salesian.
Dalam sebuah
pernyataan yang dikeluarkan pada 8 Juni, Uskup Belo menjelaskan: "Setelah dua pertemuan pada 2003 dan 2004
dengan Yang Mulia Kepala Kongregasi untuk Penginjilan
kepada Bangsa-bangsa, saya menawarkan diri untuk melayani
Kerajaan Allah dalam pelayanan misi, di luar Timor Timur, yaitu di Mozambik. Lebih tepatnya lagi di Diosis Maputo. Pergi dalam sebuah misi adalah impian yang selalu saya simpan sejak masa
remaja saya. Selain itu, selama 19 tahun pelayanan saya sebagai uskup di Dili
(1983-2002), salah satu pokok yang paling sering saya bicarakan adalah tentang
misi dan pentingnya menjadi misionaris. Hari ini waktunya telah tiba untuk
menjalankan apa yang saya katakan kepada orang-orang Kristen di Timor
Timur."
Sumber
:http//www.wikipedia.org dengan perubahan
Perjuangan Tanpa Mengenal Lelah
Dari cerita dia
atas, terlihat jelas bagaimana seorang yang biasa menjadi luar biasa akibat
keberanian dan juga perjuangan tanpa henti. Bila melihat dari segi ‘nasionalisme’ tentu hal yang dilakukan
oleh uskup Belo kurang begitu tepat. Namun bila dilihat dari segi ‘keprihatinan’ sangatlah jelas bahwa
tindakan Uskup Belo merupakan sebuah tindakan yang tepat.
Terkadang apa yang
menjadi pandangan suatu hukum dalam Negara dengan pandangan Gereja sangatlah
bertolakbelakang. Hal ini terlihat dari pelbagai hal yang (mungkin) sering
menjadi sebuah batu sandungan yang cukup memprihatinkan.
Uskup Belo
memperjuangakan apa yang menurut dia baik. Dari ketidakmampuan, menjadi sebuah
hal yang luar biasa sampai akhirnya dilihat oleh dunia dan menghasilkan sesuatu
yang luar biasa berupa sebuah Nobel Perdamaian.
Contoh yang sangat
baik bagi kita semua. Seorang Imam yang peduli terhadap orang lain terutama
terhadap tempat lahirnya yaitu Timor Timur. walau mereka sudah bukan lagi dari
bagian Negara Indonesia, namun ingatlah bahwa sejarah tetap mencatat bagaimana
daerah Timor Timur berkisah.
Sampai saat ini
menurut data yang saya dapat, Uskup Belo menjalankan sebuah misi di Negara
Afrika, tepatnya Mozambik. Mungkin saat ini dia masih senang dan dengan sepenuh
hati berada disana.
Itulah seorang
misionaris, dimanapun mereka ditugaskan, disitu mereka mengemban tugas sepenuh
hati tanpa mengeluh, tanpa beban apapun.
Refleksi
Sebuah hal yang
mencakup kesejahteraan banyak orang patutlah diutamakan. Banyak para pejuang
dan peraih Nobel Perdamaian yang sudah melakukan hal tersebut secara kongkrit.
Tak terkecuali Pater Carlos Fillipe Ximenes. Dia dapat melihat dengan sebuah
kacamata hati, apa yang dibutuhkan oleh para penduduk Timor Timur (sekarang
Timor Leste). Dengan gigih pula dia berusaha menyelesaikan konflik yang
berangsur-angsur di daerah Timor Leste. Sebuah perjuangan yang dimulai dengan
keberanian besar dan juga resiko yang besar. Berbagai kecaman tak membuat Uskup
Belo mundur. Hal tersebut dijadikannya sebuah motivasi untuk menuju sebuah hal
yang lebih baik.
Sampai akhirnya sebuah harapan pun
muncul dari seluruh perjuangannya. Pemerintah Internasional mulai melihat
sesuatu yang saat itu menjadi sebuah masalah antara Indonesia dengan Timor
Timur. akhirnya karena dianggap berperan Uskup belo pun dihadiahi penghargaan
berupa Nobel Perdamaian.
Namun apa yang menjadi dirinya.
Antara sebuah semangat nasionalisme atau pun sebuah perjuangan bagi seluruh
penduduk Timor-Timur. walau tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, tindakan
Uskup Belo, patut di banggakan.tindakan Uskup Belo masih menjadi tanda tanya
besar. Semua hal itu merupakan pilihan
0 komentar:
Posting Komentar